Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT. Berkat taufik, hidayah, dan rahmat-Nya makalah ini dapat saya rampungkan penyusunannya dengan judul “Islam Mewujudkan Masyarakat Madani” dan tema “Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umum”.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Saya sampaikan terima kasih atas dukungan serta kerja samanya yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini kepada :
1. Bapak Abdurohman, S.Ag selaku Dosen
2. Perpusatakaan Universitas Trunojoyo
3. Teman-teman di kampus
4. Teman-teman di jaringan internet
Tak ada gading yang tak retak, makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan akan adanya kritik serta saran untuk membantu saya dalam melengkapi makalah ini.
Tasikmalaya, 6 Mei 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Tujuan.................................................................................................... 2
1.3 Perumusan Masalah............................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Masyarakat Madani............................................................. 3
2.2 Konsep Masyarakat Madani.................................................................. 5
2.3 Karakteristik Masyarakat Madani.......................................................... 6
2.4 Prasyarat Menuju Masyarakat Madani.................................................. 8
2.5 Islam Mewujudkan Masyarakat Madani............................................... 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................ 13
3.2 Saran-saran............................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 15
---***---
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai teori atau konsep, civil society sebenarnya sudah lama dikenal sejak masa Aristoteles pada zaman Yunani Kuno, Cicero, pada zaman Roma Kuno, pada abad pertengahan, masa pencerahan dan masa modern. Dengan istilah yang berbeda-beda, civil society mengalami evolusi pengertian yang berubah dari masa ke masa. Di zaman pencerahan dan modern, isttilah tersebut dibahas oleh para filsuf dan tokoh-tokoh ilmu-ilmu sosial seperti Locke, Hobbes, Ferguson, Rousseau, Hegel, Tocquiville, Gramsci, Hebermas.Dahrendorf, Gellner dan di Indonesia dibahas oleh Arief Budiman, M.Amien Rais, Fransz, Magnis Suseso, Ryaas Rasyid, AS. Hikam, Mansour Fakih.
Mewujudkan masyarakat madani adalah membangun kota budaya bukan sekedar merevitalisasikan adab dan tradisi masyarakat lokal, tetapi lebih dari itu adalah membangun masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan individu, masyarakat berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan .
Umat Islam telah memperkenalkan konsep masyarakat peradaban, masyarakat madani, atau civil society, adalah Nabi Muhammad, Rasulullah S.A.W. sendiri yang memberikan teladan ke arah pembentukan masyarakat peradaban tersebut. Setelah perjuangan di kota Makkah tidak menunjukkan hasil yang berarti, Allah telah menunjuk sebuah kota kecil, yang selanjutnya kita kenal dengan Madinah, untuk dijadikan basis perjuangan menuju masyarakat peradaban yang dicita-citakan. Di kota itu Nabi meletakan dasar-dasar masyarakat madani yakni kebebasan. Untuk meraih kebebasan, khususnya di bidang agama, ekonomi, sosial dan politik, Nabi diizinkan untuk memperkuat diri dengan membangun kekuatan bersenjata untuk melawan musuh peradaban. Hasil dari proses itu dalam sepuluh tahun, beliau berhasil membangun sebuah tatanan masyarakat yang berkeadilan, terbuka dan demokratis dengan dilandasi ketaqwaan dan ketaatan kepada ajaran Islam. Salah satu yang utama dalam tatanan masyarakat ini adalah pada penekanan pola komunikasi yang menyandarkan diri pada konsep egaliterian pada tataran horizontal dan konsep ketaqwaan pada tataran vertikal. Nurcholis Madjid (1999:167-168) menyebut dengan semangat rabbaniyah atau ribbiyah sebagai landasan vertikal, sedangkan semangat insyanyah atau basyariah yang melandasi komunikasi horizontal.
1.2 Tujuan
Makalah ini didedikasikan sebagai upaya dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Tujuan lainnya adalah dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui perspektif pendidikan.
1.3 Rumusan Masalah
Ada beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain:
- Pengertian Masyarakat Madani
- Konsep Masyarakat Madani
- Karakteristik Masyarakat Madani
- Prasyarat Menuju Masyarakat Madani
- Islam Mewujudkan Masyarakat Madani
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15 yang Artinya : Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".
Dalam mendefinisikan tema masyarakat madani sangat bergantung pada kondisi sosial kultural suatu bangsa, karena bagaimana pun konsep masyarakat madani merupakan bangunan tema terakhir dari sejarah bangsa Eropa Barat. Sebagai titik tolak, di sisi lain dikemukakan beberapa definisi masyarakat madani:
Pertama, definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rew dangan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Soviet. Ia mengatakan bahwa yang di maksud masyarakat madani merupakan suatu yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Maka yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara.
Kedua, oleh Han-Sung-Joo ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu. Perkumpulan suka rela yang terbatas dari Negara suatu ruang publik yang mampu mengartikulasi isu-isu politik. Gerakan warga Negara yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi indentitas dan solidaritas yang terbentuk pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society.
Ketiga, oleh Kim Sun Hyuk ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam msyarakat yang secara relative. Secara global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik benang emas, bahwa yang dimaksud dengan masyrakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan Negara, yang memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat mengeluarkan aspirasi dan kepentingan publik.
Berdasarkan kajian di atas masyarakat madani pada dasarnya adalah sebuah komunitas sosial dimana keadilan dan kesetaraan menjadi fundamennya. Muara dari pada itu adalah pada demokratisasi, yang dibentuk sebagai akibat adanya partisipasi nyata anggota kelompok masyarakat. Sementara hukum diposisikan sebagai satu-satunya alat pengendalian dan pengawasan perilaku masyarakat.
2.2 Konsep Masyarakat Madani
Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurkholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.
Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah perkumpulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarki-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Ma’arif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafi’i Ma’arif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
2.3 Karakteristik Masyarakat Madani
Karaketeristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani, karateristik tersebut antara lain:
1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
2. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi :
(1) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
(2) Pers yang bebas
(3) Supremasi hukum
(4) Perguruan Tinggi
(5) Partai politik
3. Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya :
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya :
(1) Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata
(2) Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat
(3) Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter
(4) Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas
(5) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar
(6) Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi.
Dalam Al-Qur’an Surat An-Nissa’ ayat 59 dijelaskan Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS. An-Nissa’:59)
2.4 Prasyarat Menuju Masyarakat Madani
Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah konsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governmance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security, civil responsibility dan civil resilience).
Apabila diurai, kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sebagai berikut:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
2.5 Islam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
Dalam Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 110 dijelaskan Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS.Ali-Imran:110)
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDM-nya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM-nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
Di dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukannya. Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap masyarakat.
Allah melarang merugikan hak orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Asy-Syu’araa’ ayat 183 yang Artinya Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan. (QS. Asy-Syu’araa’:183)
Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat.
Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71 yang artinya "Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah".
Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Alah.
Banyak ayat-ayat Allah yang mendorong manusia untuk mengamalkan sedekah, antara lain Q.S. An-nisa ayat 114 yang artinya "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besa".
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua hubungan itu hidup manusia akan sejahtera baik di dunia maupun di akhirat kelak.
---***---
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan materi yang ada di bab II ialah bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat akhir zaman. Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan bagaimana cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut, serta ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat madani sebelum kita yakni pada zaman Rasullullah.
Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi yang kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.
3.2 Saran-saran
Maka diharapkan kepada kita semua baik yang tua maupun yang muda agar dapat mewujudkan masyarakat madani di negeri kita yang tercinta ini yaitu Indonesia. Yakni melalui peningkatan kualiatas sumber daya manusia, potensi, perbaikan sistem ekonomi, serta menerapkan budaya zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan. Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan kali ini semoga di dalam penulisan ini dapat dimengerti kata-katanya sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di masa yang akan datang.
No comments:
Post a Comment