KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah, penulis pada kesempatan ini selesai menyusun penuliusan makalah yang berjudul “Perkembangan Akuntansi Syariah”. Makalah ini disusun guna mengembangkan profesi keguruan.
Berbagai media dan terbatasnya sumber pemaparan tentang kajian akuntansi syari’ah sedikit banyaknya cukup menyulitkan penulis guna melengkapi kajian ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan penulis tampung demi menunjang literature yang bermutu pada penulisan selanjutnya.
Akhir kata, hanya kepada Allah-lah penulis berserah diri dan semoga kajian ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan umumnya bagi institusi pendidikan dan para pembaca.
Majalengka, Mei 2008
Penyusun
A.
Perkembangan Umum Akuntansi
Hampir seluruh ‘peta’ akuntansi Indonesia
merupakan by product Barat. Akuntansi konvensional (Barat) di Indonesia
bahkan telah diadaptasi tanpa perubahan berarti. Hal ini dapat dilihat dari
sistem pendidikan, standar, dan praktik akuntansi di lingkungan bisnis.
Kurikulum, materi dan teori yang diajarkan di Indonesia adalah akuntansi pro
Barat. Semua standar akuntansi berinduk pada landasan teoritis dan teknologi
akuntansi IASC (International Accounting Standards Committee). Indonesia
bahkan terang-terangan menyadur Framework for the Preparation and
Presentation of Financial Statements IASC, dengan judul Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan dalam Standar Akuntansi Keuangan
(SAK) yang dikeluarkan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI).
Perkembangan terbaru, saat ini telah disosialisasikan
sistem pendidikan akuntansi “baru” yang merujuk internasionalisasi dan
harmonisasi standar akuntansi. Pertemuan-pertemuan, workshop, lokakarya,
seminar mengenai perubahan kurikulum akuntansi sampai standar kelulusan akuntan
juga mengikuti kebijakan IAI berkenaan Internasionalisasi Akuntansi Indonesia tahun
2010.
Dunia bisnis tak kalah, semua aktivitas dan sistem
akuntansi juga diarahkan untuk memakai acuan akuntansi Barat. Hasilnya
akuntansi sekarang menjadi menara gading dan sulit sekali menyelesaikan masalah
lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi kepentingan ”market” (pasar
modal) dan tidak dapat menyelesaikan masalah akuntansi untuk UMKM yang
mendominasi perekonomian Indonesia
lebih dari 90%. Hal ini sebenarnya telah menegasikan
sifat dasar lokalitas masyarakat Indonesia .
Padahal bila kita lihat lebih jauh, akuntansi secara
sosiologis saat ini telah mengalami perubahan besar. Akuntansi tidak hanya
dipandang sebagai bagian dari pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan.
Akuntansi telah dipahami sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai (value laden),
tetapi dipengaruhi nilai-nilai yang melingkupinya. Bahkan akuntansi tidak hanya
dipengaruhi, tetapi juga mempengaruhi lingkungannya (lihat Hines 1989; Morgan
1988; Triyuwono 2000a; Subiyantoro dan Triyuwono 2003; Mulawarman 2006). Ketika akuntansi tidak bebas nilai,
tetapi sarat nilai, otomatis akuntansi konvensional yang saat ini masih
didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter akuntansi pasti
kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Ketika akuntansi memiliki
kepentingan ekonomi-politik MNC’s (Multi National Company’s) untuk
program neoliberalisme ekonomi, maka akuntansi yang diajarkan dan dipraktikkan
tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi pada kepentingan neoliberalisme
ekonomi pula.
Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah memang kita
tidak memiliki sistem akuntansi sesuai realitas kita? Apakah masyarakat Indonesia tidak
dapat mengakomodasi akuntansi dengan tetap melakukan penyesuaian sesuai
realitas masyarakat Indonesia ?
Lebih jauh lagi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang religius?
Religiusitas Indonesia
yang didominasi 85% masyarakat Muslim?
B. Akuntansi
Syariah: Antara Aliran Pragmatis dan Idealis
Perkembangan akuntansi syariah saat ini menurut
Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan
akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan
aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya.
Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan
teoritis antara aliran akuntansi syariah pragmatis dan idealis.
1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
Aliran akuntansi syariah pragmatis lanjut Mulawarman
(2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat
digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001;
Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya).
Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis
seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi
pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah. Akomodasi akuntansi
konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting
and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan
AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di
Indonesia.
Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi
syariah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi
konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan
prinsip-prinsip syariah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan
kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.
Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk
laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan
bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional
(neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa
laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat
dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures
yang dilarang berdasarkan syariah; laporan responsibilitas sosial bank
syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah.
Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan
ekonomi, sedangkan ketentuan syari’ah, sosial dan lingkungan merupakan
ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka
peluang perbankan syariah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syariah,
sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris
seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et
al. (2004).
Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang
menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syariah di Malaysia dan Indonesia .
Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan,
juga diminta melakukan disclose analisis laporan keuangan berkaitan
sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan
lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan
Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank syari’ah di kedua negara belum
melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian
praktik pelaporan tahunan perbankan syariah di Indonesia dan Malaysia .
Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai
tujuan syariah (maqasid syariah). Tetapi ketika berkaitan dengan laporan
keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak
murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syariah. Menurut Syafei, et
al. (2004) terdapat lima
kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan
syari’ah.
Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas
jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan
mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syariah berpikiran
pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah pada kesejahteraan
umat. Ketiga, bank syariah telah establish dalam sistem ekonomi
sekularis-materialis-kapitalis.
Pola yang establish ini mempengaruhi
pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syariah
lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya. Kelima,
kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syariah. Praktisi lebih
mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah memiliki
sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan prosedur di lapangan.
2.
Akuntansi
Syariah Aliran Idealis
Aliran Akuntansi Syariah Idealis di sisi lain melihat
akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima.
Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi
konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik,
sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling
dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006;
Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a).
Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh
terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan
keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi
baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih
menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti
penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No.
59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat.
Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syariah dalam
PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59
dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan
keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Berbeda dengan tujuan
akuntansi syariah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas
(Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a;
Baydoun dan Willett 1994).
Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan
nilai dan tujuan syariah menurut akuntansi syariah aliran idealis adalah Enterprise
Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas
yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syariah, seperti dijelaskan
Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara
tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b)
konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory
menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect
participants.
Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS,
Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shari’ate
ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak menerima
pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct
participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct
stakeholders adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan,
yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok,
pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders adalah pihak yang
tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq
(penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam
(misalnya untuk pelestarian alam).
3.
Komparasi
Antara Akuntansi Syariah Aliran Idealis dan Pragmatis
Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan
mengenai perbedaan antara aliran akuntansi syariah pragmatis dan idealis di
atas adalah, pertama, akuntansi syariah pragmatis memilih melakukan adopsi
konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi
teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca,
laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua,
akuntansi syariah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar
teoritis berbasis shari’ate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah
penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan
perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk
memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syariah aliran pragmatis dan idealis,
C. Proyek
Implementasi Shari’ate Enterprise Theory
Proses pencarian bentuk teknologis aliran idealis
dimulai dari perumusan ulang konsep Value Added (VA) dan turunannya
yaitu Value Added Statement (VAS). VA diterjemahkan oleh
Subiyantoro dan Triyuwono (2004, 198-200) sebagai nilai tambah yang berubah
maknanya dari konsep VA yang konvensional. Substansi laba adalah nilai lebih
(nilai tambah) yang berangkat dari dua aspek mendasar, yaitu aspek keadilan dan
hakikat manusia.
Terjemahan konsep VA agar bersifat teknologis untuk
membangun laporan keuangan syari’ah disebut Mulawarman (2006, 211-217) sebagai shari’ate
value added (SVA). SVA dijadikan source untuk melakukan rekonstruksi
sinergis VAS versi Baydoun dan Willett (1994; 2000) dan Expanded Value Added
Statement (EVAS) versi Mook et al. (2003; 2005)
menjadi Shari’ate Value Added Statement (SVAS).
SVA adalah pertambahan nilai spiritual (zakka) yang terjadi secara
material (zaka) dan telah disucikan secara spiritual (tazkiyah).
SVAS adalah salah satu laporan keuangan sebagai bentuk konkrit SVA yang
menjadikan zakat bukan sebagai kewajiban distributif saja (bagian dari
distribusi VA) tetapi menjadi poros VAS. Zakat untuk menyucikan bagian
atas SVAS (pembentukan sources SVA) dan bagian bawah SVAS (distribusi
SVA).
SVAS lanjut Mulawarman (2006) terdiri dari dua bentuk
laporan, yaitu Laporan Kuantitatif dan Kualitatif yang saling terikat satu sama
lain. Laporan Kuantitatif mencatat aktivitas perusahaan yang bersifat
finansial, sosial dan lingkungan yang bersifat materi (akun kreativitas)
sekaligus non materi (akun ketundukan). Laporan Kualitatif berupa catatan
berkaitan dengan tiga hal. Pertama, pencatatan laporan pembentukan (source)
VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif. Kedua,
penentuan Nisab Zakat yang merupakan batas dari VA yang wajib
dikenakan zakat dan distribusi Zakat pada yang berhak. Ketiga,
pencatatan laporan distribusi (distribution) VA yang tidak dapat
dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif.
REFERENSI
Mulawarman, Aji Dedi. 2006. Menyibak Akuntansi Syariah:
Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syari’ah Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit
Kreasi Wacana. Jogjakarta .
Mulawarman, Aji Dedi. 2007a. Menggagas Laporan Arus Kas Syariah. Simposium
Nasional Akuntansi X. Unhas Makassar .
26-28 Juli
Mulawarman, Aji Dedi. 2007b. Menggagas Neraca Syariah Berbasis Maal:
Kontekstualisasi “Kekayaan Altruistik Islami”. The 1st Accounting
Conference. FE-UI Depok. 7-9 Nopember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007c. Menggagas Laporan Keuangan Syariah
Berbasis Trilogi Ma’isyah-Rizq-Maal. Simposium Nasional Ekonomi Islam 3.
Unpad. Bandung .
14-15 Nopember.
Mulawarman. 2006. Proses rekonstruksi sinergis VAS dan EVAS
untuk membentuk SVAS.
http://akuntansi-syariah.blogspot.com/2008/02/pengantar-akuntansi-syariah-bagian-1.html
No comments:
Post a Comment