A. HAKIM
Sebelum membahas hakim, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang
pengertian hokum. Secara etimologi, hukm
berarti man’u yakni “mencegah”. Hukm juga berarti qadha’ yang berarti “putusan”. Hukum menurut bahasa ialah :
menetapkan sesuatu diatas sesuatu. Sedangkan menurut istilah agama (syara’)
hukum adalah : firman pembuat Syara’ yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan (perintah dan
larangan), pilihan, atau wadh’iy (menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang
lain, syarat, dan mani’ atau penghalang bagi sesuatu hukum)”
Hakim
didefinisikan menjadi dua pengertian :
a.
Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber
hukum.
b.
Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan
menyingkap hukum.[1]
Dalam ilmu Ushul Fiqih, hakim disebut juga dengan syar’i. Hakim dari
pengertian ini ialah Allah SWT sebagai penentu dan penguasa pertama atas segala
sesuatunya. Dia pembuat hukum, sumber dari segala hukum yang berupa hukum
taklifi (wajib, sunnah, haram, mubah, dan makhruh) dan juga hukum wadh’i
(sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, ‘azimah dan rukhsah). Jadi untuk
definisi pertama hakim sebagai “pembuat” merujuk kepada Allah yang merupakan
hakikat sumber utama adanya sebuah hukum dalam syariat Islam.[2]
Alasan yang mendukung pernyataan diatas, antara firman Allah :
1.
Surat
al-An’am ayat 57
إِنِ
الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ يَقُصُّ الْحَقَّ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling
baik”
2.
Surat
al-Maidah ayat 49, yang artinya : “Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…”
3.
Surat
al-Maidah ayat 44, yang artinya ; “Barangsiapa
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah
orang-orang kafir”
Dari pengertian hakim yang kedua berarti “yang menemukan, memperkenalkan,
dan menjelaskan hukum”, hal ini merujuk kepada sosok Rasulullah SAW sebagai
sumber kedua setelah Allah SWT. Ulama Ushul Fiqih mendefinisikannya menjadi dua
perbedaan dalam segi masa kehidupan Rasulullah SAW.[3]
1.
Masa Nabi Muhammad setelah diangkat sebagai Rasulullah
Ulama Ushul Fiqih berpendapat dan menyatakan bahwa hakim di sini ialah
syari’at yang bersumber dari Allah SWT yang diturunkan dan dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW. Apa yang dihalalkan Allah hukumnya halal dan apa yang diharamkan
Allah hukumnya haram.
2.
Masa Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasulullah
Dalam hal ini timbul perdebatan di kalangan ulama tentang siapa yang
menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum. Sebagian ulama Fiqih,
Ahlussunnah wal Jama’ah, berpendapat bahwa saat itu tidak ada hakim dan tidak
ada hukum syar’i, sebelum Muhammad diutus menjadi Rasul. Alasan mereka karena
hukum tidak dapat diperoleh kecuali melalui Rasul, sementara akal tak mampu
mencapainya. Sedangkan ulama Mu’tazillah berpendapat bahwa hakim itu pada
hakikatnya adalah Allah Ta’ala, akal mampu menemukan dan menyingkapnya sebelum
datangnya syara’. Perdebatan ini menimbulkan permasalahan, oleh para ulama
Fiqih dikenal dengan istilah “Al-Tahsin wa Al-Taqbih” yaitu menyatakan sesuatu
itu baik atau buruk.
Mengenai peran manusia atas kemampuan akal fikirannya untuk menentukan
hukum sebelum turunnya syari’at, terdapat perbedaan pendapat para ulama ushul
fiqih, yaitu:[4]
1.
Ahlusunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa sebelum
diangkatnya Rasulullah SAW dan turunnya syari’at, akal manusia tidak bisa mengetahui
yang baik dan yang buruk tanpa perantara Rasul dan kitabnya. Alasan mereka
tertera pada firman Allah surat
Al-Isra’ ayat 15 :
Jadi ayat tersebut menjelaskan secara tegas tentang peniadaan perhitungan
dan siksa terhadap seseorang sebelum kepada sampai (diutus seorang rasul
membawa risalah ilahi)
2.
Mu’tazillah berpendapat, bahwa akal manusia mampu
menentukan hukum-hukum Allah tersebut sebelum datangnya syariat. Sebab akal
mampu menentukan sesuatu hal yang baik untuk dikerjakan dan sesuatu yang harus
ditinggalkan. Jadi, maupun yang baik dan buruk mampu dijangkau oleh akal
fikiran manusia. Alasan mereka pun dari ayat yang sama seperti Ahlussunnah wal
Jama’ah. Mereka mengartikan bahwa kata “rasul” itu memiliki tafsiran
tersendiri, yaitu akal.
Kedua pendapat ini sepakat dalam menempatkan Rasul sebagai pembawa hukum
Allah dan Rasul yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia. Dengan
adanya Rasul pembawa hukum itu, maka berlakulah taklifi.
B. MAHKUM FIH (OBYEK HUKUM)
Menurut Ulama Ushul Fiqih, yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah objek
hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’I
baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu
pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah
serta batal.[5] Jadi,
secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih
adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.
Objek hukum adalah ‘perbuatan’ itu sendiri. Hukum itu berlaku pada
perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya ‘daging babi’, pada daging babi itu
tidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan. Berlakunya larangan adalah
pada “memakan daging babi” yaitu sesuatu perbuatan memakan, bukan pada zat
daging babi itu.
Para ahli Ushul Fiqih menetapkan
beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum, yaitu :
1.
Perbuatan itu sah dan jelas adanya, tidak mungkin
memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.
2.
Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh
orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
Tidak mungkin berlaku taklifi terhadap suatu perbuatan yang tidak jelas.
3.
Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh
mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.
Macam-macam Mahkum Fih
·
Ditinjau dari keberadannya secara material dan
syara’ :
1)
Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak
termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
2)
Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab
adanya hukum syara’. Seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
3)
Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’
serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain. Seperti nikah, jual beli, dan sewa
menyewa.
·
Ditinjau dari segi hak yang terdapat dalam
perbuatan itu :
1)
Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang
menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali.
2)
Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi
seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
3)
Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak
Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf
(menuduh orang lain berbuat zina).
4)
Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak
hamba didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas.[6]
C. MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM)
Yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya
menjadi tempat berlakunya hukum Allah, atau secara singkat orang yang kepadanya
diberlakukan hukum. Seseorang mendapat beban taklif (beban hukum) apabila
memenuhi beberapa syarat:
- Memahami perintah (beban hukum) yang dibebankan kepadanya,
- Baligh (dewasa)
- Berakal (sadar dan waras)
Halangan-halangan yang berlaku bagi subjek hukum :
- Gila
- Setengah gila
- Lupa
- Tidur
- Pingsan
- Mabuk
- Sakit, menjadi halangan untuk puasa dan shalat dengan berdiri
- Haid
- Nifas
- Mati
- Safar (bepergian) menjadi halangan untuk wajibnya shalat jum’at
- Silap (tidak sengaja)
- Paksaan
- Hujan, menjadi halangan untuk shalat berjama’ah
- Tua renta pikun
DAFTAR PUSTAKA
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh. Ciputat : Logos Publishing
House. 1995.
Syarifudin,
Amir. Ushul Fiqh Jilid I. Ciputat :
Logos Wacana.
http://ahmadfaruq.blogdetik.com
[1] Nasrun
Haroen M.A, 1996 :285
[2] Nasrun
Haroen M.A, 1996 :292
[3] Nasrun
Haroen M.A, 1996 :287
[4] Nasrun
Haroen M.A, 1996 :289
[5] Bardisi
dalam Syafe’i, 2007 : 317
[6] Syafe’i
, 2007 : 331
No comments:
Post a Comment