Sunday, 14 December 2014

MAKALAH USHUL FIQH | MAKALAH ISLAM

Berikut Makalah tentang Ushul Fiqih , - Kumpulan Contoh Makalah


A.    HAKIM
Sebelum membahas hakim, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang pengertian hokum. Secara etimologi, hukm berarti man’u yakni “mencegah”. Hukm juga berarti qadha’ yang berarti “putusan”. Hukum menurut bahasa ialah : menetapkan sesuatu diatas sesuatu. Sedangkan menurut istilah agama (syara’) hukum adalah : firman pembuat Syara’ yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan (perintah dan larangan), pilihan, atau wadh’iy (menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain, syarat, dan mani’ atau penghalang bagi sesuatu hukum)”

Hakim didefinisikan menjadi dua pengertian :
a.       Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
b.      Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkap hukum.[1]

Dalam ilmu Ushul Fiqih, hakim disebut juga dengan syar’i. Hakim dari pengertian ini ialah Allah SWT sebagai penentu dan penguasa pertama atas segala sesuatunya. Dia pembuat hukum, sumber dari segala hukum yang berupa hukum taklifi (wajib, sunnah, haram, mubah, dan makhruh) dan juga hukum wadh’i (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, ‘azimah dan rukhsah). Jadi untuk definisi pertama hakim sebagai “pembuat” merujuk kepada Allah yang merupakan hakikat sumber utama adanya sebuah hukum dalam syariat Islam.[2]
Alasan yang mendukung pernyataan diatas, antara firman Allah :
1.      Surat al-An’am ayat 57
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ يَقُصُّ الْحَقَّ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”
2.      Surat al-Maidah ayat 49, yang artinya : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…
3.      Surat al-Maidah ayat 44, yang artinya ; “Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir

Dari pengertian hakim yang kedua berarti “yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum”, hal ini merujuk kepada sosok Rasulullah SAW sebagai sumber kedua setelah Allah SWT. Ulama Ushul Fiqih mendefinisikannya menjadi dua perbedaan dalam segi masa kehidupan Rasulullah SAW.[3]
1.      Masa Nabi Muhammad setelah diangkat sebagai Rasulullah
Ulama Ushul Fiqih berpendapat dan menyatakan bahwa hakim di sini ialah syari’at yang bersumber dari Allah SWT yang diturunkan dan dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Apa yang dihalalkan Allah hukumnya halal dan apa yang diharamkan Allah hukumnya haram.
2.      Masa Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasulullah
Dalam hal ini timbul perdebatan di kalangan ulama tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum. Sebagian ulama Fiqih, Ahlussunnah wal Jama’ah, berpendapat bahwa saat itu tidak ada hakim dan tidak ada hukum syar’i, sebelum Muhammad diutus menjadi Rasul. Alasan mereka karena hukum tidak dapat diperoleh kecuali melalui Rasul, sementara akal tak mampu mencapainya. Sedangkan ulama Mu’tazillah berpendapat bahwa hakim itu pada hakikatnya adalah Allah Ta’ala, akal mampu menemukan dan menyingkapnya sebelum datangnya syara’. Perdebatan ini menimbulkan permasalahan, oleh para ulama Fiqih dikenal dengan istilah “Al-Tahsin wa Al-Taqbih” yaitu menyatakan sesuatu itu baik atau buruk.

Mengenai peran manusia atas kemampuan akal fikirannya untuk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at, terdapat perbedaan pendapat para ulama ushul fiqih, yaitu:[4]
1.      Ahlusunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa sebelum diangkatnya Rasulullah SAW dan turunnya syari’at, akal manusia tidak bisa mengetahui yang baik dan yang buruk tanpa perantara Rasul dan kitabnya. Alasan mereka tertera pada firman Allah surat Al-Isra’ ayat 15 :

Jadi ayat tersebut menjelaskan secara tegas tentang peniadaan perhitungan dan siksa terhadap seseorang sebelum kepada sampai (diutus seorang rasul membawa risalah ilahi)
2.      Mu’tazillah berpendapat, bahwa akal manusia mampu menentukan hukum-hukum Allah tersebut sebelum datangnya syariat. Sebab akal mampu menentukan sesuatu hal yang baik untuk dikerjakan dan sesuatu yang harus ditinggalkan. Jadi, maupun yang baik dan buruk mampu dijangkau oleh akal fikiran manusia. Alasan mereka pun dari ayat yang sama seperti Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka mengartikan bahwa kata “rasul” itu memiliki tafsiran tersendiri, yaitu akal.
Kedua pendapat ini sepakat dalam menempatkan Rasul sebagai pembawa hukum Allah dan Rasul yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia. Dengan adanya Rasul pembawa hukum itu, maka berlakulah taklifi.

B.     MAHKUM FIH (OBYEK HUKUM)
Menurut Ulama Ushul Fiqih, yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’I baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.[5] Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.
Objek hukum adalah ‘perbuatan’ itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya ‘daging babi’, pada daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan. Berlakunya larangan adalah pada “memakan daging babi” yaitu sesuatu perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi itu.
Para ahli Ushul Fiqih menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum, yaitu :
1.      Perbuatan itu sah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.
2.      Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya. Tidak mungkin berlaku taklifi terhadap suatu perbuatan yang tidak jelas.
3.      Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.

Macam-macam Mahkum Fih
·         Ditinjau dari keberadannya secara material dan syara’ :
1)      Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
2)      Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’. Seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
3)      Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain. Seperti nikah, jual beli, dan sewa menyewa.
·         Ditinjau dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu :
1)      Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali.
2)      Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
3)      Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).
4)      Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas.[6]

C.    MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM)
Yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah, atau secara singkat orang yang kepadanya diberlakukan hukum. Seseorang mendapat beban taklif (beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat:
  1. Memahami perintah (beban hukum) yang dibebankan kepadanya,
  2. Baligh (dewasa)
  3. Berakal (sadar dan waras)

Halangan-halangan yang berlaku bagi subjek hukum :
  1. Gila
  2. Setengah gila
  3. Lupa
  4. Tidur
  5. Pingsan
  6. Mabuk
  7. Sakit, menjadi halangan untuk puasa dan shalat dengan berdiri
  8. Haid
  9. Nifas
  10. Mati
  11. Safar (bepergian) menjadi halangan untuk wajibnya shalat jum’at
  12. Silap (tidak sengaja)
  13. Paksaan
  14. Hujan, menjadi halangan untuk shalat berjama’ah
  15. Tua renta pikun


DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh. Ciputat : Logos Publishing House. 1995.
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh Jilid I. Ciputat : Logos Wacana.
http://ahmadfaruq.blogdetik.com



[1] Nasrun Haroen M.A, 1996 :285
[2] Nasrun Haroen M.A, 1996 :292
[3] Nasrun Haroen M.A, 1996 :287
[4] Nasrun Haroen M.A, 1996 :289
[5] Bardisi dalam Syafe’i, 2007 : 317
[6] Syafe’i , 2007 : 331

No comments:

Post a Comment