Landasan Sosiologi Pendidikan - Kumpulan Contoh Makalah
ABSTRAK
Makalah ini bertujuan untuk mengkaji landasan
sosiologis penyelenggaraan pendidikan. Kajian landasan sosiologis
pendidikan dibatasi pada pengertian sosiologi, latar belakang histories
perkembangan sosiologi pendidikan, landasan, ruang lingkup dan fungsi kajian
sosiologi pendidikan, dan kajian tentang masyarakat Indonesia sebagai landasan
sosiologi sistem pendidikan nasional. Sosiologi lahir di Eropa
pada abad ke-19 oleh seorang sosiologis yang bernama August Comte pada tahun
1839, kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Sosiologi sebagai ilmu empiris
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang masyarakat, mempelajari
berbagai tindakan sosial yang menjelma dalam realitas sosial. Sosiologis
pendidikan bertolak dari perjuangan untuk memperbaiki masyarakat melalui pendidikan,
kemudian berkembang ke arah kajian akademik dan perbaikan praksis pendidikan. Landasan sosiologi mengandung norma dasar
yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa.
Ada tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: (1) individualisme,
(2) kolektivisme, (3) integralistik. Ruang lingkup sosiologi pendidikan
meliputi empat bidang, yaitu: (1) hubungan sistem pendidikan dengan sistem
sosial lain, (2) hubungan sekolah dengan komunitas sekitar, (3) hubungan antar
manusia dalam sistem pendidikan, (4) pengaruh sekolah terhadap perilaku anak
didik. Sosiologi pendidikan dituntut melakukan tiga fungsi pokok, yaitu:
fungsi eksplanasi, fungsi prediksi, dan fungsi utilisasi.
Kata-kata
kunci: histories, sosial, pendidikan, masyarakat, norma, ruang lingkup,
fungsi.
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Peta dunia tentang kemakmuran dan kemajuan umat
manusia berkembang dan bergeser dari yang diwarnai penguasaan/kekayaan akan
Sumber Daya Alam (SDA) kepada pemilikan Sumber Daya Alam (SDA) yang bermutu.
Tidak diragukan lagi bahwa mutu SDM merupakan fungsi pendidikan, dalam arti
bahwa bangsa yang memiliki sistem pendidikan bermutu akan menjadi bangsa yang
maju dan makmur, dan sebaliknya. Ada
korelasi positif antara struktur penduduk berdasarkan pendidikan dengan tingkat
pendidikan yang dicapai. Selanjutnya bisa dilihat bahwa antara mutu pendidikan
dengan tingkat kemakmuran terdapat hubungan yang saling menguatkan.
Pada
level individu, pendidikan merupakan proses sosialisasi dan pembudayaan melalui
interaksi dengan lingkungan, yang menghasilkan pribadi-pribadi utuh yang
menempati status tertentu dalam struktur sosialnya. Pendidikan merupakan proses
pelestarian dan perubahan budaya. Melalui pendidikan, berlangsung pewarisan
komponen-komponen budaya yang telah dibina dan dipelihara secara turun temurun,
namun sejalan dengan itu melalui pendidikan orang diharapkan akan mampu
membentuk hari esok yang lebih baik daripada hari ini dan hari kemarin yang
dilewatinya. Meskipun secara teknis setiap masyarakat mengembangkan sistem
pendidikan sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sosio-budaya yang
berlaku dan karakteristik masyarakatnya, tujuan akhirnya adalah sama yaitu
mengembangkan pribadi-pribadi yang utuh, sehat jasmani dan rohani, berbudi
pekerti luhur, beriman dan bertakwa, bermental kuat, produktif, kreatif, dan
mandiri, bermakna bagi dirinya dan turut bertanggungjawab atas kesejahteraan
masyarakat dan manusia pada umumnya.
Interaksi
sosial merupakan kata kunci dalam proses pendidikan. Keberhasilan pendidikan
ditentukan oleh mutu interaksi itu. Dengan siapa ia berinteraksi, pesan-pesan
apa yang disampaikan, bagaimana interaksi itu berlangsung, media dan
sarana-prasarana apa yang digunakan, serta bagaimana dampak interaksi itu pada
pihak-pihak yang terlibat.
Pendidikan
bisa dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu sudut
pandang/dimensi akademik dan sudut pandang/dimensi praksisnya dalam kehidupan.
Apabila dimensi akademik menekankan pada pemahaman dan pengembangan ilmu,
dimensi praksis berkaitan dengan implementasinya dalam kehidupan beserta
dampak-dampak social yang mengirinya. Sebenarnya kedua dimensi itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Antara keduanya terjalin hubungan
kesalingtergantungan yang amat erat saling meningkatkan dan saling menguatkan.
Adapun
yang menjadi fokus perhatian Sosiologi Pendidikan adalah yang kedua, yaitu
dimensi praksis pendidikan itu, yang dalam tulisan ini dibatasi pada pengertian
landasan sosiologi, latar belakang histories perkembangannya, landasan
sosiologi pendidikan, ruang lingkup dan fungsi kajian sosiologi
pendidikan, dan kajian masyarakat Indonesia sebagai landasan sosiologi sistem
pendidikan nasional.
TUJUAN
Adapun
tujuan penyusunan makalah ini adalah:
1.
Untuk mengkaji pengertian landasan sosiologi
2.
Untuk mengkaji latar belakang histories sosiologi pendidikan
3.
Untuk mengkaji landasan sosiologi pendidikan
4.
Untuk mengkaji ruang lingkup dan fungsi kajian sosiologi pendidikan
5.
Untuk mengkaji masyarakat Indonesia sebagai Landasan Sosiologi
Sistem
Pendidikan
Nasional
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN LANDASAN SOSIOLOGI
Manusia selalu hidup berkelompok, sesuatu yang
juga terdapat pada makhluk hidup lainnya yakni hewan. Meskipun demikian, pengelompokan manusia jauh
lebih rumit dari pengelompokan hewan. Pada hewan, hidup berkelompok memiliki
ciri-ciri (Wayan Ardhana, 1968) sebagai berikut: (a) ada pembagian kerja,
(b) ada ketergantungan antar anggota, (c) ada kerjasama antar anggota, (d) ada
komunikasi antar anggota, (e) ada diskriminasi antar individu yang hidup dalam
kelompok lain. Ciri-ciri hewan tersebut dapat pula ditemukan pada manusia.
Kehidupan sosial manusia tersebut dipelajari oleh filsafat, yang berusaha
mencari hakekat masyarakat yang sebenarnya. Filsafat sosial sering membedakan
manusia sebagai individu dan manusia sebagai anggota masyarakat. Pandangan aliran-aliran filsafat tentang
realitas sosial itu berbeda-beda, sehingga dapat ditemukan bermacam-macam
aliran filsafat sosial.
Sosiologi
lahir dalam abad ke-19 di Eropa, karena pergeseran pandangan tentang
masyarakat, sebagai ilmu empiris yang memperoleh pijakan yang kokoh. Sosiologi
sebagai ilmu yang otonom dapat lahir karena terlepas dari pengaruh filsafat.
Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) pada
tahun 1839, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang memepelajari
masyarakat. Sosiologi mempelajari berbagai tindakan sosial yang menjelma dalam
realitas sosial. Mengingat banyaknya realitas social, maka lahirlah berbagai
cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi
agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain.
Kegiatan
pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua
generasi, yang memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan
pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja di
bentuk oleh masyarakat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif.
Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan tersebut maka
lahirlah cabang sosiologi pendidikan.
LATAR BELAKANG HISTORIS SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Ketika diangkat menjadi Presiden American
Sosiological Association pada tahun 1883, Lester Frank Ward, yang
berpandangan demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa
sumber utama perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Amerika adalah perbedaan
dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan dalam memperoleh pendidikan.
Orang berpendidikan lebih tinggi memiliki peluang lebih besar untuk maju dan
memiliki kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang
cukup merisaukan. Untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut ia mendesak
pemerintahnya agar menyelenggarakan wajib belajar. Usulan itu dikabulkan, dan
wajib belajar di USA berlangsung 11 tahun, sampai tamat Senior High School
(Rochman Natawidjaja, et. al., 2007: 78).
Buah pikiran Ward dijadikan landasan untuk
lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yang baru dalam
sosiologi pada awal abad ke-20. Ia sering dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi
Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational
Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat untuk
memecahkan permasalahan social dan sekaligus memberikan rekomendasi untuk
mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan
universitas di USA. Hal itu terbukti dari adanya 14 universitas yang
menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya,
pada tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society
for the Study of Educational Sociology dan menerbitkan Journal
of educational Sociology. Pada tahun 1948, organisasi progesional
yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan dari American
Sociological Society.
Pada tahun 1928 Robert Angel mengeritik Educational
Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education
dengan focus perhatian pada penelitian dan publikasi hasilnya, sehingga Sociology
of Education bisa menjadi sumber data dan informasi ilmiah, serta studi
akademis yang bertujuan mengembangkan teori dan ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yang memadai,
berhembuslah angin segar
dan
menarik para sosiolog untuk melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka
diubahlah nama Educational Sociology menjadi Sociology of
Education dan Journal of Educational Sociology menjadi Journal
of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational
Sociology dalam American Sociological Society pun berubah menjadi
seksi Sociology of Education yang berlaku sampai sekarang. Penelitian
dan publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education sejak
pasca Perang Dunia II.
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa karena
pergeseran pandangan tentang masyarakat sebagai ilmu empiris yang memperoleh
pijakan yang kokoh. Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August
Comte (1798-1857) pada tahun 1839 (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 96).
Di Prancis, pelopor sosiologi pendidikan yang terkemuka adalah Durkheim
(1858-1917), merupakan Guru Besar Sosiologi dan Pendidikan pada Universitas
Sorbonne.
Di Jerman, Max Weber (1864-1920) menyoroti
keadaan dan penyelenggaraan pendidikan pada masyarakat dengan latar belakang
sosial budaya serta tingkat kemajuan berbeda. Sedang di Inggris, perhatian
sosiologi pada pendidikan pada awalnya kurang berkembang karena pelopor
sosiologi-nya, yaitu Herbert Spencer (1820-1903) justru merupakan Darwinisme
Sosial. Namun belakangan, di Inggris muncul aliran sosiologi yang memfokuskan
perhatiannya akan analisis pendidikan pada level mikro, yaitu mengenai
interaksi social yang terjadi dalam ruang belajar. Berstein, misalnya, berusaha
dengan jalan menyajikan lukisan tentang kenyataan dan permasalahan yang
terdapat dalam sistem persekolahan dengan tujuan agar para pengambil keputusan
menentukan langkah-langkah perbaikan yang tepat. Pendekatan Berstein ini oleh
Karabel dijuluki sebagai atheoretical, pragmatic, descriptive, and policy
focused (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 80).
Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan
dalam pengembangan masyarakat, dimulai sekitar tahun 1900, saat Indonesia
masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis di Negeri Belanda saat itu
melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia . Mereka mendesak agar
pemerintah jajahan melakukan politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan
melalui edukasi, irigasi, dan emigrasi. Meskipun pada mulanya program pendidkan
itu amat elitis, lama kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis
sampai penyelenggaraan wajib belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat
itu antara lain: Van Deventer, R.A.Kartini, dan R.Dewi Sartika.
LANDASAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Landasan
sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan
masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan
bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan
antar pribadi dan antar kelompok dalam masyrakat tersebut. Untuk terciptanya
kehidupan masyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang
dalam perkembangannya menjadi norma-norma social yang mengikat kehidupan
bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Dalam
kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh
pengikutnya, yaitu: (1) paham individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham
integralistik. Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir
merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut
keinginannya, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Dampak
individualisme menimbulkan cara pandang yang lebih mengutamakan kepentingan
individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha
untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu dengan
yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat.
Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan
kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi
masyarakatnya. Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa
masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara
organis merupakan masyarakat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia tidak
secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi
dan juga merupakan relasi. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan
tanpa merugikan kepentingan pribadi.
Landasan
sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber
dari norma kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaan dan gotong royong,
kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan
hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, dan (4) selaras
serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di
Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang
melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.
RUANG LINGKUP DAN FUNGSI KAJIAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Para ahli
Sosiologi dan ahli Pendidikan sepakat bahwa, sesuai dengan namanya, Sosiologi
Pendidikan atau Sociology of Education (juga Educational Sociology) adalah
cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang
pendidikan (calon guru, para guru, dan pemikir pendidikan) dan para mahasisiwa
serta professional sosiologi.
Mengenai ruang lingkup Sosiologi Pendidikan,
Brookover mengemukakan adanya empat pokok bahasan berikut: (1) Hubungan sistem
pendidikan dengan sistem social lain, (2) Hubungan sekolah dengan komunitas
sekitar, (3) Hubungan antar manusia dalam sistem pendidikan, (4) Pengaruh
sekolah terhadap perilaku anak didik (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007:
81). Sosiologi Pendidikan diharapkan mampu memberikan rekomendasi mengenai
bagaimana harapan dan tuntutan masyarakat mengenai isi dan proses pendidikan
itu, atau bagaimana sebaiknya pendidikan itu berlangsung menurut kacamata
kepentingan masyarakat, baik pada level nasional maupun lokal.
Sosiologi Pendidikan secara operasional dapat
defenisi sebagai cabang sosiologi yang memusatkan perhatian pada mempelajari
hubungan antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, antara unit
pendidikan dengan komunitas sekitar, interaksi social antara orang-orang dalam
satu unit pendidikan, dan dampak pendidikan pada kehidupan peserta didik
(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 82).
Sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya,
Sosiologi Pendidikan dituntut melakukan tiga fungsi pokok.
Pertama, fungsi eksplanasi, yaitu
menjelaskan atau memberikan pemahaman tentang fenomena yang termasuk ke dalam
ruang lingkup pembahasannya. Untuk diperlukan konsep-konsep,
proposisi-proposisi mulai dari yang bercorak generalisasi empirik sampai dalil
dan hukum-hukum yang mantap, data dan informasi mengenai hasil penelitian
lapangan yang actual, baik dari lingkungan sendiri maupun dari lingkungan lain,
serta informasi tentang masalah dan tantangan yang dihadapi. Dengan informasi
yang lengkap dan akurat, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik
dan akan dapat menafsirkan fenomena-fenomena yang dihadapi secara akurat.
Penjelasan-penjelasan itu bisa disampaikan melalui berbagai media komunikasi.
Kedua, fungsi prediksi, yaitu meramalkan
kondisi dan permasalahan pendidikan yang diperkirakan akan muncul pada masa
yang akan datang. Sejalan
dengan itu, tuntutan masyarakat akan berubah dan berkembang akibat
bekerjanya faktor-faktor internal dan eksternal yang masuk ke dalam masyarakat
melalui berbagai media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diperlukan dalam
perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi kondisi dan tantangan
baru.
Ketiga, fungsi utilisasi, yaitu menangani
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat seperti
masalah lapangan kerja dan pengangguran, konflik sosial, kerusakan lingkungan,
dan lain-lain yang memerlukan dukungan pendidikan, dan masalah penyelenggaraan
pendidikan sendiri.
Jadi,
secara umum Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan fungsi-fungsinya
selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, dan utilisasi) melalui
pengkajian tentang keterkaitan fenomena-fenomena siosial dan pendidikan, dalam
rangka mencari model-model pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan
masyarakat. Secara khusus, Sosiologi Pendidikan berusaha untuk menghimpun data
dan informasi tentang interaksi sosial di antara orang-orang yang terlibat
dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan
antara lembaga pendidikan dan komunitas sekitarnya, dan tentang hubungan antara
pendidikan dengan pranata kehidupan lain.
MASYARAKAT INDONESIA SEBAGAI LANDASAN SOSIOLOGIS
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang
berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung dan terikat oleh nilai dan
norma yang dipatuhi bersama, pada umumnya bertempat tinggal di wilayah
tertentu, dan adakalanya mereka memiliki hubungan darah atau memiliki
kepentingan bersama. Masyarakat
dapat merupakan suatu kesatuan hidup dalam arti luas ataupun dalam arti sempit.
Masyarakat dalam arti luas pada umumnya lebih abstrak misalnya masyarakat
bangsa, sedang dalam arti sempit lebih konkrit misalnya marga atau suku.
Masyarakat sebagai kesatuan hidup memiliki ciri utama, antara lain: (1)
ada interaksi antara warga-warganya, (2) pola tingkah laku warganya
diatur oleh adapt istiadat, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khas, (3) ada
rasa identitas kuat yang mengikat para warganya. Kesatuan wilayah, kesatuan
adat- istiadat, rasa identitas, dan rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan
pangkal dari perasaan bangga sebagai patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan
kesetiakawanan sosial (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 100).
Masyarakat
Indonesia mempnyai perjalanan sejarah yang panjang. Dari dulu hingga kini, ciri
yang menonjol dari masyarakat Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang
tersebar di ribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat
yang bhineka tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik untuk mendirikan
satu negara serta berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagaiu
masyarakat yang bhinneka tunggal ika. Sampai saat ini, masyarakat Indonesia
masih ditandai oleh dua ciri yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai
oleh adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas berdasarkan perbedaan suku,
agama, adat istiadat, dan kedaerahan, dan (2) secara vertical ditandai oleh
adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan
bawah.
Pada
zaman penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah (1)
terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok social atau golongan social jajahan
yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri, (2) memiliki struktur social
yang terbagi-bagi, (3) seringkali anggota masyarakat atau kelompok tidak
mengembangkan consensus di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat
mendasar, (4) diantara kelompok relative seringkali mengalami konflik, (5)
terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi, (6) adanya dominasi politiuk
oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok social yang lain, dan (7) secara
relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).
Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan,
utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, telah banyak mengalami perubahan.
Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara
horizontal maupun secara vertical, masih dapat ditemukan, demikian pula halnya
dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun
niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia serta kemajuan dalam
berbagai bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan dari “bhinneka tunggal ika”
makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui kegiatan jalur sekolah
maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan
yang semakin kokoh.
Berbagai upaya telah dilakukan dengan tidak
mengabaikan kenyataan tentang kemajemukan masyarakat Indonesia . Hal terakhir tersebut
kini makin mendapat perhatian yang semestinya dengan antara lain dimasukkannya
muatan lokal (mulok) di dalam kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan
local di dalam kurikulum tidak dimaksudkan sebagai upaya membentuk “manusia
lokal”, akan tetapi haruslah dirancang dan dilaksanakan dalam rangka mewujudkan
“manusia Indonesia” di suatu lokal tertentu. Dengan demikian akan dapat
diwujudkan manusia Indonesia
dengan wawasan nusantara dan berjiwa nasional akan tetapi yang memahami dan
menyatu dengan lingkungan (alam, sosial, dan budaya) de sekitarnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dasar
sosiologis berkenaan dengan perkembangan, kebutuhan, dan karakteristik
masyarakat. Sosiologi pendidikan merupakan analisa ilmiah tentang proses social
di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi
pendidikan meliputi empat bidang:
- hubungan sistem pendidikan dengan
sistem sosial lain
- hubungan sekolah dengan komunitas sekitar
- hubungan antar manusia dalam sistem
pendidikan
- pengaruh sekolah terhadap perilaku
anak didik
Landasan
sosiologis mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan
masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan
bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan
antar pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya
kehidupan bermasyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial
yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan
bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Sosiologi
pendidikan dituntut untuk melakukan tiga fungsi, yaitu: (1) fungsi eksplanasi,
(2) fungsi prediksi, (3) fungsi utilisasi. Secara umum, sosiologi pendidikan
bertujuan untuk mengembangkan fungsi-fungsinya tersebut melalui pengkajian
fenomena-fenomena sosial dan pendidikan, dalam rangka mencari model-model
pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan masyarakat.
Perkembangan
masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah mempengaruhi sistem pendidikan
nasional. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat kebutuhan akan pendidikan
semakin meningkat dan kompleks. Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk
menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan masyarakat terutama dalam hal
menumbuhkembangkan ke-Bhineka tunggal ika-an, baik melalui kegiatan jalur
sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana,
Wayan. 1986. Dasar-dasar Kependidikan. FIP IKIP. Malang.
Bachri,
Syamsul. 2002. Sosiologi Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Pengetahuan.
Makalah. Program Pascasarjana UNM. Makassar
Natawidjaya, R., Sukmadinata , N.S. ,
Ibrahim. Djohar, A,. 2007. Ilmu Rujukan
Filsafat,
Teori, dan Praksis. Universitas Pendidikan Indonesia.
Tirtarahardja,
Umar dan S.L. La Sulo, 1994. Pengantar Pendidikan. Departemen
Pendidikan
dan Kebudayaan. Jakarta
Tirtarahardja,
Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Rhineka
Cipta
Jakarta.
Wijayantiloma,
Nani. Landasan Sosiologis dan Kultur. http://naniwijayantiloma.blogspot.Com 2009/9.
***
(Source
: Fitriani Nur, Mahasiswa PPs UNM Makassar | Prodi Pendidikan Matematika, 2008)
Saya,
Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia.
No comments:
Post a Comment