Memahami Keteraturan Sosial melalui Pembelajaran Sosiologi - Kumpulan Contoh Makalah
Pendahuluan
Kelahiran dan perkembangan sosiologi tidak lepas dari setting
sosial yang melatarbelakanginya dan sekaligus merupakan basis masalah pokoknya.
Revolusi politik Perancis (1789),
revolusi industri yang berlangsung sepanjang Abad Ke-19 dan munculnya
kapitalisme merupakan faktor yang paling besar perannya dalam perkembangan
(teori-teori) sosiologi.
Transformasi masyarakat dunia
barat dari corak pertanian ke sistem industri menjadikan banyak orang
meninggalkan usaha pertanian ke pekerjaan industri yang ditawarkan oleh
pabrik-pabrik yang sedang berkembang. Hal ini menimbulkan permasalahan-permasalahan
yang mengganggu keteraturan kehidupan sosial yang mendorong munculnya
pemikiran-pemikiran sosiologi. Sistem ekonomi kapitalis yang memunculkan
segelintir orang dengan keuntungan yang besar di satu pihak, dan di pihak lain
ada sebagian besar orang yang bekerja membanting tulang dengan jam kerja yang
sangat panjang tetapi dengan sedikit penghasilan, telah memunculkan reaksi
menentang sistem industri dan kapitalisme. Setting sosial akibat
industrialisasi sangat mewarnai pemikiran para pemikir sosiologi awal (para
perintis), seperti Saint Simon (1760-1825), Auguste Comte (1798-1857), Karl
Marx (1818-1883), Emmile Durkheim (1858-1917), Max Weber (1864-1920), dan
lain-lain.
Pemikiran sosiologi muncul dari
kesalingterkaitan antara personal troubles dan public issues
yang bersumber pada krisis pada keteraturan sosial. Industrialisasi dan
kapitalisme oleh para perintis dianggap sebagai hal yang menganggu keteraturan
sosial, sehingga muncul pemikiran-pemikiran untuk memulihkan keadaan atau
memunculkan keadaan baru sebagai solusi atas masalah yang timbul.
Tulisan ini –apapun
adanya—diharapkan dapat menjadi prasaran atau bahan diskusi mengenai peran atau
fungsi pengajaran sosiologi di SMA untuk mengantarkan para peserta didik
memahami keteraturan sosial di masyarakat atau lingkungan sosialnya. Apakah
standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ada dan sekaligus merupakan pagu
dalam standar isi (Permen 22 Tahun 2006) telah cukup memadai untuk maksud
tersebut? Kemudian, terkait dengan pelaksanaan SMA Bertaraf Internasional,
bagaimana model atau bentuk adaptasi kurikulum yang ada dengan kurikulum
berstandar internasional, dalam hal ini A-Level Cambridge University.
Pokok Bahasan Sosiologi
Emmile Durkheim (1965), menyatakan bahwa pokok bahasan
sosiologi adalah fakta sosial, yaitu cara bertindak, berfikir, dan berperasaan
yang berada di luar individu, tetapi mempunyai kekuatan memaksa dan
mengendalikan individu. Fakta sosial, menurut Durkheim, berada di luar
individu, tetapi bersifat memaksa dan mengendalikan individu, sehingga individu
akan melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak selalu merupakan
kehendak dirinya. Individu yang
bertindak tidak sesuai dengan fakta sosial, akan mendapat sanksi dari suatu
kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Durkheim mencontohkan perilaku bunuh
diri (suicide) yang juga merupakan fakta sosial. Integrasi
sosial dalam suatu kelompok atau masyarakat yang terlalu kuat dapat memaksa
individu untuk melakukan altruistic suicide. Misalnya di dunia militer
atau sekte tertentu, individu dapat melakukan bunuh diri demi keselamatan
rekan-rekannya. Bentuk lain bunuh diri yang juga merupakan fakta sosial
sebagaimana dijelaskan oleh Durkheim adalah bunuh diri anomic dan egoistic.
Meskipun berbeda dari Durkheim,
Max Weber mengungkapkan tentang pokok bahasan sosiologi, yaitu tindakan sosial.
Tindakan sosial merupakan tindakan yang oleh individu/aktor dilakukan dengan
mempertimbangkan perilaku pihak lain. Sebagaimana fakta sosial yang
diungkapkan oleh Durkheim, tindakan sosial pun berorientasi kepada terbentuknya
keteraturan sosial. Orientasi kepada terbentuknya keteraturan sosial
juga tampak pada uraian-uraian sosiolog lain, seperti C. Wrights Mills (Sociological
Imagination) ataupun Peter L. Berger (thing are not what they seem).
Sedikit mengenai sosiologi di Indonesia, secara sangat singkat dapat
diuraikan sebagai berikut. Meskipun tidak secara formal, ajaran-ajaran Wulang
Reh (Mangkunegoro IV), Ki Hajar Dewantoro, mengandung unsur sosiologi.
Tahun 1948 Kuliah Pertama Sosiologi oleh Prof. Mr. Soenario Kolopaking di
Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang FISIPOL UGM). Tahun 1950 Hasan
Shadily menulis Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Tahun 1962 Selo
Soemardjan menulis Social Change in Yogyakarta, dan bersama dengan
Soelaiman Soemardi pada Tahun 1964 menulis buku Setangkai Bunga Sosiologi.
Dalam Setangkai Bunga Sosiologi, Selo Soemardjan memperkenalkan sosiologi
sebagai ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur, proses, dan
perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial merupakan susunan atau konfigurasi
unsur-unsur sosial yang pokok (nilai dan norma, kelompok, kelas, lembaga
sosial, dll). Sedangkan proses sosial menunjuk pada adanya hubungan
timbal-balik di antara unsur-unsur sosial . Struktur dan proses sosial membentuk sistem sosial, dan masyarakat adalah
sebuah sistem sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan perubahan sosial adalah
perubahan-perubahan yang terjadi baik pada struktur dan proses sosial.
Hal yang penting diperhatikan ketika seseorang membicarakan struktur sosial
adalah bahwa ia sedang berbicara mengenai sesuatu yang terdiri atas
bagian-bagian yang saling bergantung dan membentuk suatu pola tertentu, dapat
berupa pola perilaku individu atau kelompok, institusi, maupun masyarakat.
Kiranya dapat dinyatakan bahwa perilaku sosial sesungguhnya merupakan fungsi
dari struktur sosial dan kebudayaan. Hampir semua tindakan-tindakan atau
perilaku yang dilakukan oleh individu lebih merupakan preferensi struktur
sosial atau kelompok daripada pribadinya..
Pembentukan Keteraturan sosial
Keteraturan sosial terbentuk karena ada proses sosial yang
dinamakan konformitas, yaitu bentuk interaksi sosial yang di
dalamnya seseorang berperilaku terhadap yang lain sesuai dengan harapan
kelompok. Sejak lahir seorang anak diajarkan oleh orangtuanya untuk berperilaku
sebagaimana jenis kelamin yang dimiliki. Bayi perempuan dan bayi laki-laki
diperlakukan secara berbeda, diberi pakaian dengan bentuk dan warna yang
berbeda, diberi mainan yang berbeda, dst. Proses pembelajaran demikian dalam
studi sosiologi disebut sosialisasi.
Sosialisasi merupakan konsep penting dalam sosiologi, sebab seperti
diakatakan Mead, bahwa diri manusia berkembang secara bertahap (preparatory,
play stage, game stage, dan generalized other) melalui interaksi dengan
anggota masyarakat yang lain. EH Sutherland menyatakan bahwa manusia menjadi
jahat atau baik diperoleh memalaui proses belajar.
Sosialisasi berlangsung melalui interaksi sosial seorang individu atau
kelompok dengan individu atau kelompok lain, baik yang berlangsung secara
equaliter maupun otoriter, secara formal maupun nonformal, secara disadari
maupun tidak disadari, di kelompok primer maupun sekundernya. Namun, untuk
dapat berinteraksi dan berpartisipasi secara baik dalam kelompok atau
masyarakatnya, individu juga harus melakukan sosialisasi. Individu harus
mempelajari simbol-simbol dan cara hidup (cara berfikir, berperasaan, dan
bertindak) yang berlaku dalam masyarakatnya sehingga ia menjadi wajar atau
tidak aneh dan dapat diterima oleh warga lain dalam masyarakatnya.
Agen-agen atau media sosialisasi yang penting antara lain, (1) keluarga, (2)
teman sepermainan, (3) lingkungan sekolah, (4) lingkungan kerja, dan (5) media massa . Di lingkungan
keluarga peran para significant other (orang penting yang bermakna
bagi seseorang), seperti ayah, ibu, kakak, baby sitter, pembantu rumah
tangga, dll sangat penting. Kemandirian dan keterampilan sosial lainnya yang
sangat penting bagi perkembangan seorang anak, dapat diperoleh melalui
pergaulannya dengan teman sepermainan. Di samping mengajarkan tentang
keterampilan membaca, menulis, berhitung, cara berfikir kritis dan analistis,
rasional dan objektif, lingkungan pendidikan/sekolah juga mengajarkan
aturan-aturan tentang kemandirian, prestasi, universalisme, dan spesivisitas.
Peran media massa sebagai agen sosialisasi tidak diragukan lagi. Dari
beberapa penelitian ditemukan fakta bahwa sebagian besar waktu anak-anak dan
remaja di beberapa kota dihabiskan untuk menonton telivisi, bermain game
online, chating, dan berinteraksi antar-sesama melalui blog
(web log) seperti face book dan friendster. Ahli media
massa menyatakan bahwa media is the message. Homogenisasi (proses
menjadi semakin serupanya struktur dan trend berbagai masyarakat dari berbagai
belahan bumi) yang merupakan trend global kurang lebih merupakan hasil
dari berperannya media massa yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi,
khususnya televisi dan internet.
Meskipun sosialisasi telah berlangsung sejak seseorang dilahirkan atau
menjadi warga baru suatu masyarakat, tetapi tidak semua orang dapat berhasil
dalam proses sosialisasi. Dengan kata lain, tidak semua orang mampu hidup
dengan cara-cara yang sesuai dengan harapan sebagaian besar warga masyarakat.
Meskipun para anggota masyarakat cenderung konformis, tetapi ada sedikit orang
yang perilakunya berbeda atau menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan sebagian
besar anggota masyarakat. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari perilaku yang
sekedar aneh, lucu, nyentrik, masih merupakan individual peculiarities,
belum lazim karena terlalu maju, sampai dengan perilaku yang benar-benar
merusak tatanan sosia, bahkan jahat (crime).
Kepada sebagian kecil warga masyarakat yang berperilaku berbeda atau
menyimpang inilah peran mekanisme dari lembaga-lembaga pengendalian sosial,
baik yang formal maupun informal, baik melalui cara-cara yang bersifat
persuasif ataupun kurasif, preventif maupun kuratif. Pengendalian sosial
menurut Durkheim akan merupakan kekuatan yang berasal dari luar individu yang
memaksanya untuk bertindak, berperasaan, dan berfikir sebagaimana fakta sosial,
melalui diberlakukannya sanksi-sanksi (fisik, ekonomi, maupun mental) baik yang
bersifat positif maupun negatif.
Dengan kata lain, keteraturan sosial akan tercipta apabila: (1) dalam
struktur sosial terdapat sistem nilai dan norma sosial yang jelas sebagai salah
satu unsurnya; jika tidak demikian akan menimbulkan anomie, (2)
individu atau kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku (peran sosialisasi), (3) individu atau kelompok menyesuaikan
tindakan-tindakannya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku
(internalisasi dan enkulturasi), dan (4) berfungsinya sistem pengendalian
sosial (social control).
Keteraturan Sosial dalam Masyarakat Multikultural
Masyarakat multikulrural (majemuk, plural) merupakan masyarakat yang terdiri
atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa pembauran satu sama
lain di dalam suatu kesatuan politik (Furnivall, 1967). Majemuk/plural bukan
sekedar heterogen. Seperti dinyatakan Cliford Geertz bahwa pluralitas
ditunjukkan oleh terbagi-baginya masyarakat ke dalam subsistem-subsistem yang
kurang lebih berdiri sendiri dan terikat oleh hal-hal yang bersifat primordial.
Dengan cara yang lebih rinci, Pierre van den Berghe menyebutkan beberapa sifat
dasar masyarakat majemuk, yaitu: (1) terjadinya segmentasi ke dalam
kelompok-kelompok dengan subkultur saling berbeda satu dari lainnya, (2)
struktur sosial terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer,
(3) kurang dapat mengembangkan konsensus mengenai nilai yang bersifat dasar,
(4) relatif sering mengalami konflik antar-kelompok, (5) integrasi sosial
tumbuh di atas paksaan (coercion) dan ketergantungan ekonomi, atau (6)
dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lainnya.
Mengingat karakteristik masyarakat plural seperti diuraikan di atas, proses
integrasi sosial atau pembentukan keteraturan sosialnya akan memerlukan energi
yang lebih besar, dan sangat tergantung pada bentuk dan konfigurasi struktur
sosialnya serta proses-proses sosial yang ada.
Struktur sosial dalam masyarakat
multikultural dapat dibedakan antara intersected dan consolidated.
Dalam struktur yang intersected, integrasi atau keteraturan sosial
lebih mudah terbentuk karena adanya silang-menyilang keanggotaan dan loyalitas.
Sedangkan pada struktur yang consolidated, proses integrasi atau
keteraturan sosialnya akan terhambat karena terjadi penguatan identitas dan
sentimen kelompok yang diakibatkan oleh terjadinya tumpang tindih parameter
dalam pemilahan struktur sosialnya.
Konfigurasi etnis dalam
masyarakat multikultural, apakah (1) kompetesi seimbang, (2) maioritas dominan,
(3) minoritas dominan, atau (4) fragmentasi, menentukan juga proses integrasi
sosialnya. Pada konfigurasi (1) dan (4) memerlukan komunikasi dan adanya
koalisi lintas-etnis, sedang pada konfigurasi (2) dan (3) integrasi sosial
dapat terbentuk karena adanya dominasi suatu kelompok terhadap lainnya.
Ethnosentrisme, primordialisme,
dan berkembangnya politik aliran merupakan faktor yang menghambat integrasi dan
keteraturan sosial dalam masyarakat multikultural. Pendidikan
multikulturalsme diharapkan dapat menumbuhkan faham relativisme kebudayaan,
universalisme, dan berkembangnya kehidupan politik nasional yang non-aliran dan
berbasis program dan ideologi nasional.
Penutup
Dari uraian yang ada dapat
disimpulkan bahwa (1) pengajaran sosiologi di SMA berperan penting dalam
mengantarkan peserta didik untuk memahami terbentuknya keteraturan sosial dalam
mastarakatnya, (2) Berdasarkan teori mengenai terbentuknya keteraturan sosial,
SK dan KD pada standar isi (Permendikna Nomor 22 Tahun 2006) telah memadai
untuk mengantarkan peserta didik memahami pembentukan keteraturan sosial, (3)
subtansi SK dan KD dalam standar isi tidak jauh berbeda dari subject
content Sosiologi pada A-Level Cambridge University. Di samping
sekuen subjek yang berbeda, beberapa subjek yang yang ada di A-Level seperti
Work and Leisure tidak tercantum dalam SK dan KD. Dengan demikian, apabila
peserta didik akan mengikuti eksaminasi A-Level perlu mengadaptasi SK dan KD
dengan Subject Content dalam A-Level.
Rujukan:
- Budiono Kusumohamidjojo. 2000. KEBHINEKAAN MASYARAKAT DI INDONESIA; Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan. Jakarta: Grasindo.
- George Ritzer, Douglas J. Goodman. 2003. TEORI SOSIOLOGI MODERN, Edisi Ke-6. Terjemahan Oleh Alimandan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
- H.A.R Tilaar. 2004. MULTIKULTURALISME, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
- Kamanto Sunarto. 2004. PENGANTAR SOSIOLOGI, Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
- Nasikun. 1992. SISTEM SOSIAL INDONESIA.
Jakarta: Rajawali Pers
- Lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 SK
dan KD Sosiologi SMA
- Syllabus of General Certificate of Education (International) Advanced Level and Advanced Subsidiary Level SOCIOLOGY 9699 (www.cie.org.uk)
KEBURUHAN AKAN MEDIA
Membangun “Opini Pembelajaran” di Masyarakat
Tahapan ini sesungguhnya harus dilakukan dengan sangat massive. Menggeser
paradigma kebutuhan masyarakat akan media, dari media sebagai penyedia
“hiburan” (entertaint) menjadi media sebagai penyedia materi pembelajaran
(learning content) harus dilakukan dengan sangat kreatif dan produktif. Tanpa itu, sulit rasanya menggeser budaya
menonton dan mendengar yang selama ini ada di masyarakat.
Selain itu peran `issu maker’
juga harus bisa diambil oleh media-media yang dirancang dan dimanfaatkan oleh
Rumah Ilmu Indonesia. Maksudnya adalah, harus adanya kemampuan Rumah Ilmu
Indonesia untuk mengendalikan aliran isu yang mengalir.
Di zaman euforia reformasi
seperti yang masih berlangsung saat ini, kejadian apapun sebenarnya memiliki
dua sisi opini yang saling kontra satu sama lain. Kasus Ahmadiyah misalnya,
tampak jelas sekali kubu yang mendukung dan kubu yang menolak. Jika kemudian
media massa masuk ke salah satu kubu, maka seolah-olah kubu itulah yang lebih
besar, sekalipun nyatanya secara kuantitas kubu itu kecil adanya.
Kasus lain misalnya, Islam
Liberal. Walau secara kuantitas orang-orang ini kecil, tetapi secara kemampuan
infiltrasi media massa dan membangun opini, kita harus mengakuinya. Sehingga
terkadang masalah yang sudah jelas “gelap terangnya” malah bisa bergeser
menjadi abu-abu, masalah yang sudah jelas “halal haramnya” malah bergeser
menjadi “syubuhat”
Contoh kasus tersebut dapat
dipelajari oleh Team Media & Broadcast Rumah Ilmu Indonesia agar tidak
terjebak pada isu-isu yang malah membawa kepada “politisasi pendidikan”.
Mengendalikan apa yang didapat, ditonton dan didengar oleh masyarakat menjadi
penting untuk membangun opini pembelajaran tadi.
Untuk itu, sedapat mungkin semua
yang disampaikan haruslah berada dalam skenario yang dikaji secara matang, dan
upayakan semua yang dilakukan patuh pada skenario tersebut.
Di tahap ini, materi-materi yang
diangkat belumlah spesifik. Masih berkisar pada isu-isu dan masalah-masalah
umum pendidikan.
Pemilihan tema programpun harus
dipilih dengan hati-hati.
Pemilihan radio komunitas sebagai
media sambung siar menjadi tepat karena pembangunan opini memang lebih mudah
dilakukan pada komunitas-komunitas kecil daripada harus sekaligus `menyerang’
massa yang lebih besar dan sudah memiliki `own opinion’ yang dibangun oleh
media massa-media massa yang lebih kuat dan besar skalanya.
Setidaknya, dalam pengamatan
penulis, ada beberapa tahapan juga yang harus dilakukan di tahapan ini :
a. Kampanye marketing
yang massive
Ingat selalu bahwa leaflet dan
iklan juga merupakan media untuk membangun opini pembelajaran
b. Pelebaran penggunaan
media dan jaringan media
Termasuk dalam hal ini adalah pelebaran tema dan penggunaan berbagai stasiun
radio dan televisi yang sudah ada untuk menayangkan program-program media &
broadcast Rumah Ilmu Indonesia
c. Pengembangan kegiatan offline
Program-program seperti pelatihan, Media goes to School dan semacamnya
diharapkan mampu mendorong pembentukan opini pembelajaran yang lebih cepat dan
lebih luas.
2. Memfasilitasi
“Komunitas Pembelajaran” dengan Media yang Lebih Spesifik
Diharapkan jika tahap pertama ini
bisa kita jalankan dengan baik, maka akan terbentuk kemudian
komunitas-komunitas pembelajar di masyarakat.
Sebagai catatan kembali,
pembentukan komunitas itu harus pula mampu didorong oleh media-media yang
dirancang oleh Rumah Ilmu Indonesia. Beberapa hal sudah kita lakukan, misalnya
mailing list rezaervani menghasilkan komunitas yang cukup besar. Hal lain yang
dapat kita lakukan misalnya, mendorong tumbuhnya komunitas pendengar acara
BINCANG GURU & PENDIDIKAN, atau komunitas pembaca buletin FORISTIC.
Ini harus pula dicermati dan
mampu teranalisa dengan baik oleh seluruh komponen Rumah Ilmu Indonesia, jangan
sampai tidak terdeteksi apalagi terlepas.
Komunitas-komunitas itu tidak
akan banyak kuantitasnya, tapi itulah tantangannya. Memfasilitasi komunitas itu
dengan media yang lebih spesifik diharapkan mampu mendorong terjadinya
perpaduan antar berbagai media pembelajaran.
Contohnya adalah apa yang pernah
dilakukan oleh BBC Step by Step (Pelajaran Bahasa Inggris) dan Deutsche Welle
dalam pembelajaran Bahasa Jerman.
Selain mengadakan siaran di Radio
dan televisi, mereka juga mengirimkan buku-buku panduan yang memudahkan para
pendengarnya untuk mengikuti pelajaran yang dilangsungkan.
Karena itulah sebenarnya, Rumah
Ilmu Indonesia juga menyiapkan Departemen Penerbitan.
Saat ini, Rumah Ilmu Indonesia
juga sedang menjalani riset media Web 2.0 sebagai media pembelajaran. Perpaduan
antara web based learning dengan media massa akan menjadi sangat optimal jika
dilakukan secara terpadu.
Mampukah Rumah Ilmu Indonesia ? Harus
!!
3. Membangun Media Massa
Pembelajaran Mandiri
Jika tahapan-tahapan diatas dapat
kita lakukan, maka tahapan terakhir yang nanti kita kerjakan adalah membangun
media massa pembelajaran mandiri.
Ini dapat berarti kita harus
punya radio sendiri, stasiun televisi sendiri, production house sendiri,
majalah dan surat kabar sendiri, yang semuanya memiliki orientasi pencerdasan
masyarakat.
Pra dan pasca tahap ketiga ini,
harus pula dilakukan penelitian (research) seputar pemanfaatan media bagi
pembelajaran. Banyak model yang sesungguhnya sudah dilakukan oleh negara-negara
di luar Indonesia, termasuk yang dikembangkan di Afganistan. Kita bisa ambil model-model tersebut untuk
kemudian disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.
***
Tanpa melewati tahapan-tahapan diatas,
rigiditas Rumah Ilmu Indonesia di bidang media dapat dipertanyakan. Perjalanan
akan membuat kita belajar lebih banyak dan menjadi kuat.
Akhir kata, ini adalah sebuah
pekerjaan besar yang membutuhkan nafas panjang. Yang paling mahal dari semuanya
adalah komitmen dan keteguhan niat kita untuk menjadikan Rumah Ilmu Indonesia
menjadi salah satu garda terdepan dalam membangun budaya belajar masyarakat,
sehingga harapan terbentuknya sebuah masyarakat madani yang berdiri di atas
pondasi moral yang teguh dan ilmu yang luas dapat terwujud.
Hai
orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di
jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(Al Quran Al Karim Surah Al Maidah ayat 54)
Faidza azzamta fa tawakal
`alaLlah
No comments:
Post a Comment